Kab. Semarang,, patroligrup.com ,, Kejaksaan Kabupaten Semarang kembali menjadi sorotan setelah Jaksa Muda Tony Stefanus Sahertian S.H., M.H., yang juga menjabat sebagai Kepala Seksi Pengelola Barang Bukti (Kasie BB), diduga menghindari wartawan. Panji, Pimpinan Redaksi Media Online Patroli grup, mengungkapkan bahwa dirinya menduga Tony Stefanus alergi terhadap wartawan saat dirinya hendak meminta klarifikasi terkait pinjam pakai barang bukti milik saudara seorang saksi pelapor. Barang bukti tersebut berupa satu unit mobil Brio warna stabilo, plat no L 1702 CAM, yang merupakan mata pencaharian pelapor, Marjono, dan masih dalam masa kredit atau angsuran.
Panji menjelaskan bahwa dirinya bersama timnya pernah mendatangi Kejaksaan Kabupaten Semarang untuk meminta klarifikasi terkait hal tersebut. Namun, pada Jumat, 1 November 2024, saat kembali mendatangi Kejaksaan Kabupaten Semarang, Tony Stefanus, melalui stafnya yang tidak disebutkan namanya, menyatakan bahwa ia telah pulang ke rumah karena urusan keluarga. Hal ini terjadi sekitar pukul 13.30 WIB, saat jam kerja masih berlangsung. Staf tersebut juga menambahkan bahwa seharusnya Marjono melayangkan surat permohonan pinjam pakai barang bukti, seraya memperlihatkan contoh surat penetapan hakim untuk mengeluarkan barang bukti.
Kejanggalan muncul karena Tony Stefanus, selaku Kasie BB, juga akan bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara atas pelaporan Marjono dengan terdakwa Stionugroho. Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mengenai profesionalitas dan etika seorang jaksa, terutama dalam hal transparansi dan akses informasi bagi media, dan juga prosedur yang seharusnya dijalankan terkait permohonan penggunaan barang bukti. Menunjukkan contoh surat penetapan hakim sebagai alasan penolakan permohonan informasi juga menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akses informasi publik.
Permasalahan Penggunaan Barang Bukti berupa Kendaraan Roda Empat Milik Korban yang Merupakan Alat Pencaharian: Tinjauan Hukum di Indonesia
Kasus pencurian atau kejahatan lain yang melibatkan barang bukti berupa kendaraan roda empat milik korban, terutama jika kendaraan tersebut merupakan alat pencaharian utama, menimbulkan dilema hukum dan etika. Artikel ini akan membahas permasalahan tersebut dengan menambahkan tinjauan hukum di Indonesia berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Dilema Hukum dan Keadilan:
Penyitaan kendaraan sebagai barang bukti penting untuk proses penyidikan dan peradilan yang adil (Pasal 1 angka 8 KUHAP)[1]. Namun, penyitaan dapat merugikan korban secara ekonomi, khususnya jika kendaraan tersebut merupakan sumber penghasilan utama. Ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan keseimbangan antara penegakan hukum dan hak-hak korban.
Pertimbangan Hukum berdasarkan Undang-Undang:
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP): KUHAP mengatur tentang penyitaan barang bukti dalam Pasal 41 sampai Pasal 46. Penyitaan harus didasarkan pada surat perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 41 KUHAP). Barang bukti yang disita harus didaftarkan dan disimpan dengan baik (Pasal 43 KUHAP). Namun, KUHAP tidak secara spesifik mengatur kompensasi bagi korban atas kerugian akibat penyitaan alat pencaharian.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP): Meskipun KUHAP mengatur penyitaan, tidak ada pasal yang secara eksplisit membahas kompensasi bagi korban yang kehilangan alat pencahariannya akibat penyitaan. Hal ini menjadi celah hukum yang perlu diperhatikan.
- Putusan Pengadilan: Praktik di pengadilan menunjukkan variasi dalam penanganan kasus ini. Beberapa pengadilan mungkin mempertimbangkan kondisi korban dan memberikan keringanan atau solusi alternatif, sementara yang lain mungkin lebih menekankan pada aspek penegakan hukum. Preseden hukum yang konsisten sangat dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum.
Pertimbangan Etika dan Aspek Kemanusiaan:
Aspek etika dan kemanusiaan tetap penting. Aparat penegak hukum harus mempertimbangkan dampak penyitaan terhadap korban. Komunikasi yang baik dan transparan antara penyidik dan korban diperlukan untuk menjelaskan alasan penyitaan dan mencari solusi yang saling menguntungkan.
Solusi dan Rekomendasi:
- Regulasi yang lebih komprehensif: Diperlukan regulasi yang lebih komprehensif yang mengatur kompensasi atau bentuk bantuan lain bagi korban yang kehilangan alat pencaharian akibat penyitaan barang bukti. Regulasi ini dapat berupa peraturan pemerintah atau petunjuk pelaksanaan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Penegakan hukum yang proporsional: Aparat penegak hukum harus melakukan penyitaan secara proporsional dan mempertimbangkan dampaknya terhadap korban. Alternatif lain seperti penjaminan barang bukti atau jaminan dari pihak ketiga dapat dipertimbangkan.
- Peran lembaga bantuan hukum: Lembaga bantuan hukum dapat memberikan pendampingan hukum kepada korban untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
- Peningkatan kualitas penyidikan: Penyidikan yang efektif dan efisien dapat meminimalisir waktu penyitaan barang bukti, sehingga mengurangi kerugian korban.
Penyitaan kendaraan roda empat milik korban yang merupakan alat pencahariannya memerlukan pertimbangan hukum dan etika yang cermat. Meskipun KUHAP mengatur penyitaan barang bukti, belum ada regulasi yang secara eksplisit mengatur kompensasi bagi korban dalam situasi ini. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih komprehensif, penegakan hukum yang proporsional, dan peran aktif lembaga bantuan hukum untuk memastikan keadilan dan keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan hak-hak korban.
Dengan tayangnya rilis pemberitaan ini, Jaksa Muda tersebut belum dan atau tidak merespon chatting WhatsApp yang dilakukan oleh Pimred Patroli
Team liputan