Cianjur,, patroligrup.com,, 14 Oktober 2024 – Perkembangan terbaru dari persidangan perkara nomor 262/Pid Sus/2024/PN Cjr di Pengadilan Negeri Cianjur menyoroti sejumlah fakta mengejutkan mengenai terdakwa Antonius, anak dari Lukminto, yang sedang menghadapi dakwaan terkait Pasal 45 ayat (3) jo. Pasal 27 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 303 KUHPidana. Sidang yang dihadiri oleh rekan-rekan media ini tidak hanya menyingkap tindakan terdakwa dalam meretas situs judi online, tetapi juga membuka mata publik tentang perlakuan kejam yang dialami terdakwa serta kontroversi terkait proses pengobatan kejiwaannya selama dalam tahanan.
1. Antonius Anak Lukminto Menghack Server Situs Bandar Judi Online hingga Lumpuh Selama 12 Jam
Dalam sidang yang berlangsung pada 14 Oktober 2024, terungkap bahwa sebelum ditangkap, Antonius berhasil meretas server salah satu situs bandar judi online terbesar di Indonesia, yang menyebabkan situs tersebut lumpuh total selama 12 jam. Meskipun tindakan ini menyebabkan kerugian besar bagi jaringan bandar judi, ironisnya Antonius justru kini menghadapi dakwaan pidana. Pertanyaan penting muncul: Apakah tindakan meretas situs ilegal yang dilakukan oleh Antonius layak dianggap sebagai kejahatan, atau sebaliknya, sebagai upaya untuk melawan praktik kejahatan? Fakta ini mengundang simpati publik terkait posisi Antonius sebagai individu yang seharusnya membantu mengungkap jaringan kejahatan, bukan malah dihukum.
2. Kekerasan Fisik Terhadap Antonius di Tahanan Pengadilan Negeri Cianjur
Lebih mengejutkan lagi, Antonius mengungkapkan di hadapan hakim bahwa ia mengalami kekerasan fisik saat ditahan di Pengadilan Negeri Cianjur pada bulan September 2024, yaitu sebelum perkara ditangani oleh Bapak Advokat Donny Andretti, S.H., S.Kom., M.Kom., C.Md. ( Pemilik Firma Hukum Subur Jaya & Rekan, Pendiri dan Ketua Umum Organisasi Advokat Paralegal FERADI WPI ). Terdakwa Antonius mengaku ditendang dan dicekik oleh beberapa oknum, yang memperburuk kondisinya sebagai penderita skizofrenia paranoid. Selain pengakuan di pengadilan, keluarga Antonius juga telah melihat luka-luka fisik di tubuhnya, termasuk luka terbuka di tulang kering yang diduga akibat hantaman benda keras. Tindakan kekerasan ini jelas melanggar hak asasi manusia Antonius sebagai tahanan yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang layak dan kemanusiaan.
3. Pengabaian Pengobatan Kejiwaan dan Pertanyaan Besar tentang Validitas Obat
Sidang pada 14 Oktober 2024 juga mengungkapkan fakta lain yang mengkhawatirkan terkait pengobatan kejiwaan Antonius. Ketika Antonius memohon obat olanzapine kepada hakim, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan bahwa psikiater hanya bisa meresepkan obat kejiwaan jika pasien diperiksa secara langsung. Ini menimbulkan pertanyaan besar: Dari mana pihak penegak hukum mendapatkan suplai obat kejiwaan untuk Antonius selama ia ditahan sejak 17 April 2024, mengingat Antonius hanya pernah diperiksa satu kali oleh psikiater di Rs Sartika Asih Bandung dengan agenda pemeriksaan kejiwaan yang dinyatakan sebagai visum psikiatrik dan juga perlu dipertanyakan kevalidan prosedur pemeriksaan tersebut. Apakah suplai obat-obatan tersebut melalui jalur resmi, atau ada prosedur yang tidak transparan dalam pengadaan obat kejiwaan? Tutur Lydia Oktavia adik kandung Antonius anak Lukminto.
4. Kontroversi Larangan Posting di TikTok oleh Hakim
Sikap hakim dalam persidangan juga menjadi sorotan ketika ia melarang posting terkait persidangan ini di TikTok, meskipun pada saat ditanya oleh tim advokat terdakwa, ia menyatakan bahwa publikasi di YouTube diperbolehkan. Ini menimbulkan pertanyaan mengenai inkonsistensi dalam kebijakan publikasi persidangan. Mengapa TikTok, yang merupakan platform media sosial seperti YouTube, dilarang? Bukankah keduanya adalah platform publik yang sama-sama dapat diakses oleh masyarakat luas? Kebijakan yang tidak konsisten ini menimbulkan persepsi bahwa ada upaya untuk membatasi eksposur publik terhadap kasus ini melalui platform yang mungkin lebih populer di kalangan masyarakat umum.
5. Ketidakhadiran Saksi Kunci dari Tokopedia dan Psikolog dalam Sidang 14 Oktober 2024
Selain itu, dalam sidang yang sama, ketidakhadiran saksi-saksi kunci, seperti saksi dari Tokopedia dan psikolog yang memberikan BAP terkait kondisi Antonius, menimbulkan keraguan besar terhadap validitas pembuktian kasus ini. Jika pihak Tokopedia, yang seharusnya memberikan bukti penting terkait kasus ini, tidak hadir, maka bagaimana bisa keabsahan bukti yang diajukan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum dapat dibenarkan? Hal ini sangat meresahkan dan memperlihatkan adanya potensi cacat dalam proses pembuktian yang dapat memengaruhi hasil akhir persidangan.
6. Validitas Pemeriksaan Kejiwaan Antonius Dipertanyakan
Lebih jauh lagi, Antonius diketahui mengalami skizofrenia paranoid, namun hingga saat ini, belum ada kejelasan apakah pemeriksaan kejiwaannya telah dilakukan sesuai dengan standar Permenkes No. 77 Tahun 2015 tentang visum psikiatrikum. Hal ini penting karena hasil visum psikiatrik adalah dasar dalam menentukan kondisi kejiwaan terdakwa dan dapat memengaruhi keputusan hukum. Apakah visum psikitrik yang diajukan oleh pihak JPU sudah melalui prosedur resmi dan memenuhi standar hukum yang berlaku? Jika tidak, maka validitas dakwaan terhadap Antonius harus dipertanyakan.
Seruan untuk Keadilan Bagi Terdakwa dengan Gangguan Kejiwaan
Kasus Antonius anak Lukminto telah membuka mata publik terkait banyaknya kekurangan dalam penanganan tahanan dengan gangguan mental di Indonesia. Kekerasan fisik yang dialami Antonius, pengabaian terhadap kebutuhan medisnya, serta ketidaktransparanan dalam pengobatan kejiwaannya menjadi cermin buruk bagi sistem peradilan kita. Petugas kesehatan jiwa, aktivis HAM, dan masyarakat luas diharapkan dapat turut serta mengawal kasus ini dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan bagi Antonius.
Advokat Donny Andretti, S.H., S.Kom., M.Kom., C.Md., beserta tim dari FERADI WPI – SUBUR JAYA LAWFIRM menegaskan bahwa, “Antonius bukan hanya seorang terdakwa, tetapi juga seseorang yang menderita gangguan mental yang serius. Kami berharap semua pihak, termasuk masyarakat dan media, terus mengawal proses hukum ini agar keadilan dan perlakuan yang manusiawi dapat diberikan kepadanya.”
Kasus ini tidak hanya tentang seorang terdakwa, tetapi juga tentang bagaimana sistem peradilan kita menangani individu dengan kebutuhan khusus. Kita semua harus bersatu untuk memastikan bahwa Antonius, dan mereka yang berada dalam situasi serupa, mendapatkan keadilan yang layak.
Tim